Aku membaca puisi mas Pepeng untuk istrinya yang cukup memberiku gambaran tentang apa yang bergejolak di dalam dadanya :
Puisi Buat Tami
Puisi Buat Tami
Dua orang mahasiswa mengikat cinta dalam perkawinan untuk menghindari berbagai hubungan yang dilarang Sang Khalik.
Hari itu, 30 Oktober 1983, si pria 29 tahun dan gadisnya 22 tahun. Dua orang mahasiswa mengikat cinta dalam perkawinan untuk mendapat keturunan sepeti yang diperintahkan Sang Khalik.
Anak
pertama lahir, si bapak mengurus, menjaga malam hari, mengganti popok,
dan memandikan, si ibu menyusui. Mereka masih muda dan saling
mencinta. Si pria 32 tahun dan kekasihnya 25 tahun.
Si pria sudah sarjana, setelah 10 tahun, setelah mempunyai anak dua. Mereka masih muda dan saling mencinta, si pria 34 tahun dan kekasihnya 27 tahun.
Si
pria sudah bekerja, kekasihnya sudah sarjana, anak mereka sudah empat.
Hari itu mereka memasuki rumah yang diidamkan oleh setiap keluarga.
Mereka masih bugar dan saling mencinta. Si pria 42 tahun dan kekasihnya
35 tahun.
Hari
ini si pria 54 tahun, ia tergeletak karena sakitnya didampingi oleh
kekasihnya yang 47 tahun, tidak muda lagi menjelang ulang tahun
perkawinan mereka yang ke-25.
Dalam sakitnya, berkelebat semua kenangan dengan kekasihnya. Dalam sakitnya ia menulis untuk kekasihnya:
“Dik Uta,” demikian panggilan kesayangan sang pria setelah sakit untuk kekasihnya yang bernama Utami.
Saya tidak akan pernah lupa ketika awal penyakit itu datang kamu menenangkan saya dengan kata-kata, “Kita sedang menjalani peran baru.”
Subhanallah, Dik Uta, kata-kata itu sangat menjadi inspirasi untuk saya menjalani sakit saya. Saya selalu berdoa, “ Ya Allah berilah kecerdasan untuk kami agar kami selalu melihat semua ketetapan-Mu melalui sudut pandang yang membahagiakan.”
Peran baru, itu adalah salah satu sudut pandang yang cerdas dan membahagiakan.
Ah, Dik Uta, terlalu banyak dan panjang jika saya tulis betapa besar
rasa terima kasih atas ketegaranmu menjalani peran baru ini.
Saya tahu Dik Uta sedih, tapi kamu tetap tegar.
Saya tahu Dik Uta takut, tapi kamu tetap tegar.
Saya
tahu Dik Uta lelah, tapi kamu tetap tegar, mengurus saya, membersihkan
dan membalikkan bada saya setiap satu jam di malam hari.
Saya tahu Dik Uta ingin jalan-jalan untuk menghilangkan jenuh, tapi kamu tetap tegar mendampingi saya karena saya tidak bisa ditinggal terlalu lama sendiri.
Saya tahu Dik Uta selalu mengharapkan kata-kata cinta dari saya, tapi kamu tetap tegar walau kamu tak pernah mendengar kata-kata itu.
Hari ini kamu akan mendengar dari mulut saya.
"Dik Uta, aku cinta kamu tanpa batas. "
"Saya akan selalu bahagiakan kamu tanpa batas. "
"Saya akan selalu ada untuk kamu tanpa batas. "
Kelak kalau saya sudah bisa jalan, kita akan pergi kemana pun kamu mau, yang selama ini tidak pernah kita lakukan.
Dik Uta, pikirkanlah yang terbaik tentang cita-cita kita, karena Allah berfirman, "Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar